Foto: Ilustrasi
Oleh: Tim Redaksi
JAKARTA,Penasilet.com – Pembiaran terhadap berbagai kegiatan ilegal oleh pejabat dan aparat, khususnya di sektor pertambangan, migas, dan lingkungan, bukan lagi sekadar dugaan, tapi sudah menjadi pola yang kasat mata. Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi dan dibiarkan?
Pertama, indikasi kuat adanya keterlibatan atau keuntungan langsung dari praktik ilegal itu sendiri. Banyak aparat di lapangan terlibat secara pasif maupun aktif. Pasif dalam bentuk pembiaran dan tutup mata, aktif dalam bentuk perlindungan dan pengamanan. Di sinilah akar dari istilah “dibekingi” atau “terkoneksi”.
Kedua, penegakan hukum bersifat tebang pilih dan transaksional. Pelaku kecil mudah ditindak, sementara pemain besar kebal karena punya akses pada kekuasaan dan uang. Ini menunjukan bahwa integritas hukum telah dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek dan kronisme.
Ketiga, lemahnya pengawasan internal dan eksternal. Tidak adanya evaluasi dan sanksi keras dari atasan membuat oknum merasa aman. Lembaga pengawas seakan-akan kehilangan taring atau malah ikut bermain dalam lingkaran.
Keempat, budaya feodal dan loyalitas buta terhadap atasan menjadikan pejabat dan aparat enggan menindak pelaku ilegal jika ada afiliasi kekuasaan di baliknya. Ini adalah warisan panjang dari struktur kekuasaan yang tidak sehat.
Akhirnya, publik patut bertanya lebih keras: Apakah negara ini sungguh-sungguh hadir untuk rakyat, atau hanya menjadi alat bagi elite untuk mengeruk keuntungan?
Jika kegiatan ilegal terus dibiarkan, maka kita tidak hanya menghadapi kerusakan lingkungan dan kerugian negara, tetapi juga kehancuran prinsip keadilan dan hukum itu sendiri.
Tanpa penegakan hukum yang tegas dan bebas intervensi, maka hukum hanya menjadi alat permainan, bukan panglima.
Penulis: Tim Redaksi
Editor : Tamrin
#Editorial
#Sorot
#Media
