JAKARTA,Penasilet.com – Distribusi dan alokasi sumber daya telah lama menjadi konflik pelik di Indonesia. Perseteruan antara korporasi dan masyarakat pemilik lahan merupakan kasus yang paling banyak terjadi. Faktanya, masyarakat seringkali kesulitan mendapatkan haknya karena perbedaan kuasa antara kedua pihak.
Banyaknya terjadi kasus pengambilan lahan tanpa izin dari masyarakat oleh korporasi. Mayoritas kasus disebabkan karena kepemilikan lahan diakui secara adat, jadi mereka tidak memiliki sertifikat tanah. Hal ini membuat banyak korporasi kemudian mengambil alih lahan, khususnya untuk dijadikan lahan sawit.
Dari hasil penelitian oleh berbagai lembaga, konflik lahan sawit ini melibatkan banyak peneliti yang menelusuri kemunculan konflik, kronologi, dan hasilnya ada ratusan konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis sumber-sumber tertulis, dokumen pemerintah, NGO, dan laporan dari masyarakat. Alhasil, peneliti menemukan berbagai faktor munculnya konflik dan resolusi yang belum efektif. Seluruh hasil penelitian dan gagasan tersebut dituangkan dalam buku berjudul “Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia”.
Seperti dikatakan oleh Prof. Ward Berenschot, Peneliti Senior KITLV Leiden University juga mengungkapkan bahwa terdapat tiga argumen dalam isu ini.
“Tanah yang dimiliki masyarakat hanya diakui secara adat, tidak ada sertifikatnya. Jadi bisa dikatakan bahwa di sini terjadi kehampaan hak. Lalu kedua, ketika terjadi konflik masyarakat cenderung fokus mendapatkan kompensasi finansial dibanding memerjuangkan hak-hak mereka secara hukum. Kemudian terakhir, mekanisme resolusi konflik tersebut dinilai tidak efektif karena hak-hak masyarakat pun akhirnya tidak diberikan,” tuturnya dalam diskusi “Seminar Konflik Korporasi Lahan Sawit dan Upaya Solusinya” pada Senin (21/8/2024) yang lalu di Yogjakarta.
Tak hanya soal perseteruan antara masyarakat dengan korporasi, berbagai faktor politik juga sangat berpengaruh. Korporasi biasanya menjalin hubungan internal dengan pemerintah daerah untuk memenuhi kepentingannya. Hal ini menimbulkan kondisi di mana masyarakat semakin tersudut, karena ditekan oleh dua kekuasaan sekaligus. Jika dibiarkan terus menerus, ekonomi masyarakat akan terancam, hingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Begitu juga disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding, saat mengikuti pertemuan Kunspek Komisi III di Mapolda Sumbar, Sengketa tanah adat kembali menjadi isu serius di Indonesia, terutama ketika melibatkan masyarakat adat dan korporasi besar.
Dalam Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspek) Komisi III DPR RI ke Polda Sumatera Barat, anggota Komisi III Sarifuddin Sudding menerima aspirasi dari masyarakat terkait konflik tanah adat atau tanah ulayat yang diduga dirampas oleh PT Wilmar. Aspirasi ini disampaikan langsung oleh sejumlah ibu-ibu saat bertemu dengannya di sela-sela kunjungan kerja.
“Iya, tadi saya mendapat aspirasi dari masyarakat di situ terkait masalah tanah adat, tanah ulayat mereka yang dirampas oleh perusahaan Wilmar,” ujar Sarifuddin kepada Media usai mengikuti Kunspek di Mapolda Sumbar, Padang, Senin (25/11/2024) dikutip dari laman dpr.go.id
Sarifuddin menjelaskan bahwa keluhan masyarakat disampaikan dengan penuh emosional.
“Sampai ibu-ibu di situ menangis, menyampaikan tentang tanah adat mereka,” katanya.
Aspirasi tersebut langsung diteruskan kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumbar untuk ditindaklanjuti.
“Saya sudah sampaikan kepada Pak Kapolda agar aspirasi ini diatensi. Ada ibu-ibu menyampaikan bahwa tanah ulayat mereka dirampas oleh PT Wilmar, dan itu tidak boleh terjadi karena menyangkut hak atas tanah adat,” tegasnya.
Untuk diketahui, konflik lahan di Nagari Kapa, Pasaman Barat, kembali memanas pada 4 Oktober 2024. PT Permata Hijau Pasaman 1 (PHP 1), anak perusahaan Wilmar Group, bersama aparat gabungan dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumbar, dilaporkan melakukan aksi pemaksaan masuk ke lahan pertanian milik masyarakat setempat untuk menanam bibit kelapa sawit. Peristiwa ini berujung pada penangkapan sembilan warga Kapa, termasuk enam perempuan. “(Red)”.
Editor: Tamrin