Foto: Ilustrasi
Penasilet.com-edisi Jumat (4/7/2025) – “Betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah negara miskin; tapi juga betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan.” Kutipan kata dari Goenawan Mohamad ini menyoroti masalah pendidikan yang hingga kini belum menemukan formula yang efektif dan berkeadilan
Kalimat ini bukan sekadar kritik, tapi tamparan telak bagi sistem pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang terus membanggakan jargon “pendidikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan,” padahal realitas di lapangan justru sebaliknya.
1. Pendidikan: Mahal untuk Negara, Lebih Mahal untuk Rakyat
Dalam APBN 2025, Indonesia kembali mengalokasikan lebih dari Rp 665 triliun untuk sektor pendidikan, sekitar 20 persen dari total anggaran nasional. Ini angka yang secara nominal sangat besar. Tapi, di balik angka tersebut, jutaan siswa di pelosok masih kesulitan mengakses sekolah layak, kekurangan guru berkualitas, dan berjuang dengan fasilitas minim.
Fakta di lapangan:
Menurut BPS, 1 dari 10 anak usia sekolah menengah tidak melanjutkan pendidikan, utamanya karena faktor ekonomi.
Laporan terbaru dari World Bank (2024) mencatat bahwa Indonesia kehilangan 4,5 tahun potensi belajar efektif dari total 12 tahun pendidikan dasar, akibat kualitas pembelajaran yang buruk.
Anggaran boleh besar, tapi distribusi dan efektivitasnya lemah. Maka wajar jika muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang menikmati ongkos mahal pendidikan itu?
2. Sekolah Gagal Menghapus Kemiskinan Struktural
Selama puluhan tahun, pendidikan digadang sebagai “eskalator sosial.” Namun realitasnya, bagi banyak anak dari keluarga miskin, sekolah justru menjadi ruang pembiakan ketimpangan baru: dari akses ke bimbingan belajar, kemampuan membeli gawai dan kuota, hingga peluang masuk ke perguruan tinggi favorit.
Studi OECD menunjukkan bahwa di Indonesia, latar belakang sosial-ekonomi masih menjadi faktor paling dominan dalam menentukan prestasi akademik. Anak dari keluarga kaya punya peluang 3-4 kali lebih besar untuk menamatkan pendidikan tinggi dibanding anak dari keluarga miskin.
Sekolah belum berhasil menjadi alat mobility, tapi malah berfungsi sebagai filter sosial. Lulus dari sekolah bukan jaminan lulus dari kemiskinan, buktinya, pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMA dan sarjana.
3. Ilusi Meritokrasi dalam Sistem yang Tak Setara
Di atas kertas, semua anak punya kesempatan yang sama. Tapi kenyataannya, anak dari desa yang harus menempuh 7 km berjalan kaki ke sekolah jelas tak memulai dari garis start yang sama dengan anak kota yang dibekali fasilitas lengkap dan les privat.
Sistem pendidikan sering kali berpura-pura netral, padahal sejak awal ia tidak inklusif. Ia mengasumsikan semua murid punya rumah tenang untuk belajar, orang tua yang bisa membantu PR, atau akses internet yang stabil, padahal tidak semua punya itu.
Ini menjadikan meritokrasi pendidikan tak lebih dari ilusi berlapis kepalsuan. Mereka yang berhasil bukan semata pintar, tapi karena dilengkapi modal sosial, ekonomi, dan koneksi, hal-hal yang tidak diajarkan di kelas.
4. Di Mana Kesalahan Kita?
Masalahnya bukan pada pendidikan sebagai konsep, tapi sistem sekolah yang gagal menjawab realitas sosial. Ketika kurikulum lebih sibuk mengejar target akademik ketimbang membangun kapasitas hidup, ketika guru lebih banyak mengajar untuk ujian ketimbang memanusiakan, dan ketika negara lebih bangga pada skor PISA ketimbang keadilan akses, maka pendidikan hanya jadi proyek mahal yang tidak relevan.
5. Pendidikan yang Memihak Siapa?
Hari ini, pertanyaan yang harus dijawab bukan lagi berapa besar anggaran pendidikan, tapi siapa yang benar-benar diuntungkan dari sistem yang berjalan?
Apakah pendidikan kita memihak anak petani di pelosok, anak buruh harian, anak nelayan, atau hanya menguntungkan segelintir elite yang sudah punya semua sumber daya?
Jika sistem pendidikan tidak dibenahi secara struktural dari kualitas guru, reformasi kurikulum, hingga pemerataan akses, maka semua pidato soal “pendidikan melawan kemiskinan” hanyalah omong kosong yang dibungkus kata-kata manis di Hari Pendidikan Nasional.
Pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin adalah investasi gagal yang mahal. Ia tidak menghapus kemiskinan, justru melanggengkan ketimpangan. Maka, sistem sekolah harus dirombak bukan hanya demi pencapaian angka, tapi demi menciptakan keadilan sosial yang sejati.
Karena sebagaimana dikatakan Paulo Freire, “Pendidikan sejati adalah praktik kebebasan. Pendidikan palsu adalah alat penindasan.”
Pilih yang mana?
Ditulis oleh: Tim Redaksi
Editor. : Tamrin
#Editorial