TANGERANG,Penasilet.com – Polemik kepemilikan tanah di Panunggangan Barat, Kota Tangerang, kembali mencuat setelah adanya laporan audit investigatif dari Kementerian ATR/BPN. Sengketa ini melibatkan PT Bina Sarana Mekar, Pemerintah Kota Tangerang, dan Ditjen Perkebunan, dengan status kepemilikan tanah yang masih menjadi perdebatan sengit.
Laporan Audit Mengungkap Fakta Mengejutkan
Pada 31 Desember 2024, Inspektorat Jenderal Kementerian ATR/BPN dalam surat bernomor B/PW.05.03/111-900/XII/2024 menyatakan bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 6945/Panunggangan Barat telah dilepaskan haknya oleh PT Bina Sarana Mekar kepada Pemerintah Daerah Kota Tangerang untuk keperluan Prasarana, Sarana, dan Utilitas. Namun, Pemerintah Kota Tangerang menanggapi dengan sanggahan, menyebut bahwa tanah tersebut masih dalam status sengketa.
Pernyataan Kontroversial dari Kismet Chandra
Kismet Chandra, Direktur Utama PT Satu Stop Sukses, menilai ada kejanggalan dalam penerbitan sertifikat tersebut.
“Berdasarkan data kami, lokasi tanah ini sebenarnya merupakan tanah pemakaman yang dialokasikan dalam proyek perkavlingan Ditjen Perkebunan. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang proses sertifikasi yang dilakukan,” ujarnya dalam pernyataan tertulisnya.
Menurut Chandra, pihaknya telah mengajukan permohonan audit investigatif kepada Inspektorat Jenderal Kementerian ATR/BPN sejak Oktober 2024. Hasil audit menyebut bahwa tidak ditemukan cacat hukum dalam penerbitan sertifikat, namun mencatat adanya pertukaran lahan (ruislag) dengan lahan lain di Bojong Nangka, Kabupaten Tangerang.
Ketidakjelasan Status Kepemilikan Tanah
Dalam surat yang diterbitkan Pemerintah Kota Tangerang pada 13 Februari 2025 dengan nomor 100.3/4371/2025, disebutkan bahwa tanah tersebut belum berstatus “clear and clean”, sehingga belum bisa diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Kota Tangerang. Hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait pemilik sah dari tanah tersebut.
Pemerintah Kota Tangerang pun meminta agar PT Bina Sarana Mekar atau pihak berwenang segera melakukan pemagaran untuk menghindari konflik lebih lanjut. Mereka juga menuntut audit lebih mendalam terhadap dokumen-dokumen terkait untuk memastikan keabsahan sertifikat SHGB No. 6945/Panunggangan Barat.
Desakan kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Kasus ini semakin menjadi perhatian publik setelah adanya desakan agar Menteri ATR/Kepala BPN turun tangan langsung dalam menyelesaikan sengketa ini.
“Jika ada pemalsuan dokumen atau penyimpangan hukum, maka harus segera diproses sesuai Pasal 263 KUHP atau UU ITE. Kami juga mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk turun tangan,” ujar Kismet Chandra.
Masyarakat pun berharap agar kasus ini bisa segera mendapatkan kepastian hukum.
“Jika lahan ini memang untuk kepentingan umum, maka harus segera digunakan sebagaimana mestinya. Jangan sampai menjadi lahan sengketa berkepanjangan,” ungkap seorang warga setempat.
Dengan semakin kompleksnya sengketa ini, semua mata kini tertuju pada langkah apa yang akan diambil oleh pemerintah. Akankah penyelesaian kasus ini bisa memberikan keadilan bagi semua pihak, atau justru menjadi konflik hukum yang berlarut-larut?
Editor: Thamrin/ismail