Gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo: Ancaman Nyata terhadap Kebebasan Pers

Foto: Ilustrasi
Editorial
Oleh: Redaksi Penasilet.com
Rabu, 5 November 2025

JAKARTA,Penasilet.com – Ketika seorang menteri aktif menggugat media atas pemberitaan yang mengkritik kebijakan publik, maka ada lebih dari sekadar “perselisihan” ada sinyal bahaya yang nyata bagi demokrasi dan kemerdekaan pers. Tindakan Amran yang menuntut ganti kerugian hingga Rp 200 miliar terhadap Tempo atas pemberitaan berjudul “Poles‑Poles Beras Busuk” menunjukkan betapa rapuhnya batas antara kritik sah dan upaya membungkam media. [1]

1. Mekanisme Pers Telah Dilangkahi

Menurut ketentuan dalam Dewan Pers — yang diamanatkan dalam Undang‑Undang Pers, sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik seperti hak jawab, mediasi, dan PPR (Pernyataan, Penilaian dan Rekomendasi) dari Dewan Pers. Dalam kasus ini, Tempo telah menjalankan rekomendasi Dewan Pers terkait koreksi atas judul poster berita tersebut. [1]

Namun, Amran memilih jalan gugatan perdata ke pengadilan biasa, yang bukan mekanisme utama penyelesaian sengketa pers. Ini jelas mengabaikan prosedur yang telah diatur dan menciptakan preseden buruk. [1]

2. Pejabat Publik vs Media Pengawas
Sebagai Menteri Pertanian, Amran adalah pejabat publik yang kebijakannya secara inheren menjadi objek pengawasan media. Ketika pemberitaan mengulas kebijakan dan risiko publik, seperti mekanisme penyerapan gabah oleh Perum Bulog dengan harga tetap dan kualitas yang tidak diseleksi, maka kritik dan sorotan adalah bagian dari demokrasi. [1]

Namun dengan menggugat media, Amran tampak menggunakan instrumen hukum untuk menghalangi fungsi kontrol sosial media, suatu langkah yang berpotensi menghambat kebebasan pers dan menakut‑nakuti media agar tak berani bersikap kritis.

3. Tuntutan yang Tidak Proporsional dan Tidak Jelas Dasarnya

Tuntutan kerugian materiil dan immateriil senilai Rp 200 miliar yang diajukan Amran dinilai oleh sejumlah pengamat hukum dan kebebasan pers sebagai “janggal” dan tanpa landasan kuat, terutama karena objek pemberitaan adalah kebijakan publik, bukan pernyataan pribadi pejabat dalam kapasitas pribadi. [2]

Realitas ini memunculkan pertanyaan: Apakah ini benar‑benar upaya mempertahankan reputasi, atau upaya mempersempit ruang kritis media?

4. Efek Jera yang Mengancam Kebebasan Pers
Ketika media besar digugat sedemikian rupa oleh pejabat negara, maka efeknya tidak hanya pada kasus tersebut saja, namun pada seluruh sektor pers. Media lain akan menimbang‑nimbang apakah kritis terhadap kebijakan publik akan berisiko gugatan dan tuntutan besar. Ini bisa memunculkan *chilling effect* (efek membeku) terhadap liputan investigatif dan kritis, yang jelas merugikan publik. [1]

5. Percampuran Fakta, Opini dan Judul yang Menarik Tetapi Rentan Kritik

Bukan berarti media tidak bisa dikritik, bahkan harus. Dalam kasus ini, Dewan Pers memang menyatakan bahwa Tempo melanggar Pasal 1 (ketidakakuratan, melebih‑lebih) dan Pasal 3 (mencampur fakta dan opini) Kode Etik Jurnalistik terkait judul poster berita tersebut. [1]

Media harus mempertanggungjawabkan kualitasnya. Tetapi solusi yang tepat bukanlah gugatan perdata senilai ratusan miliar dari pejabat publik, melainkan perbaikan etika dan mekanisme pers yang profesional dan terbuka.

Kesimpulan Tegas
Gugatan Amran terhadap Tempo merupakan langkah yang keliru dan berbahaya dalam konteks kemerdekaan pers dan demokrasi Indonesia. Dari pengabaian proses etik pers, posisi sebagai pejabat publik, hingga tuntutan yang tidak proporsional, semuanya menunjukkan bahwa ini bukan hanya persoalan klien yang merasa dirugikan, melainkan persoalan prinsip: apakah media bebas untuk mengkritik kebijakan publik tanpa takut dituntut secara ekonomi besar?

Jika pengadilan menerima gugatan ini sebagai preseden, maka jaringan kontrol terhadap media akan semakin rapat, demokrasi kita akan terancam oleh self‑censorship, dan publik akan dirugikan karena haknya atas informasi yang kritis dan akurat terhambat.

Oleh karena itu:

– Pejabat publik harus memahami bahwa kritik terhadap kebijakan bukanlah musuh, melainkan bagian dari fungsi kontrol dalam demokrasi.
– Media harus mematuhi etika jurnalistik dan mekanisme pers, agar tidak memberi alasan pembungkam.
– Pengadilan harus menjaga kompetensinya dan menghormati mekanisme pers yang telah tersedia, agar tidak menjadi instrumen tekanan terhadap media.

Di titik ini, kita tidak hanya berbicara soal satu gugatan, tetapi soal arah kemerdekaan pers di Indonesia. Dan jika kita membiarkan gugatan semacam ini diterima tanpa resistensi, maka kita memilih jalan mundur untuk publik dan demokrasi.

Penulis: Redaksi Penasilet.com

Editor  : Tamrin

Kutipan:
1. tirto.id: tirto.id/tempo-vs-amran-polemik-poster-beras-ancaman-kebebasan-pers-hhSx?

2. FAJAR: fajar.co.id/2025/09/16/lbh-pers-soal-gugatan-rp200-miliar-mentan-amran-ke-tempo-aneh-dan-mengada-ada/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!