JAKARTA,Penasilet.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), khususnya Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 18 Ayat (1), Rabu (18/6/2025).
Sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, ini merupakan respons atas permohonan Perkara Nomor 93/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh seorang advokat bernama Arista Hidayatul Rahmansyah. Arista menilai norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Frasa “Menurut Penilaiannya Sendiri” Jadi Sorotan
Sebagai seorang advokat yang kerap mendampingi klien, Arista Hidayatul Rahmansyah mengungkapkan kekhawatirannya.
Menurutnya, keberlakuan Pasal 18 ayat (1) UU Polri sangat rentan disalahgunakan oleh oknum kepolisian. Pasal tersebut berbunyi, “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
“Frasa ‘menurut penilaiannya sendiri’ yang ada pada norma a quo membuat polisi memiliki legal standing menjalankan tugas dan kewenangan sesukanya.
Di samping itu, Pasal ini bisa saja digunakan sebagai bentuk pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu citra kepolisian atau bisa digunakan oleh elite penguasa untuk membungkam pesaing-pesaing politik/oposisi,” jelas Arista di Ruang Sidang Panel MK.
Ketiadaan Definisi “Kepentingan Umum” dan Pelanggaran Asas Lex Certa
Lebih lanjut, Arista menyoroti bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Polri tidak memiliki penjelasan, baik dalam batang tubuh maupun penjelasan undang-undang, mengenai apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”.
Hal ini, menurutnya, membuka ruang interpretasi yang subjektif oleh aparat di lapangan. Kondisi ini dinilai melanggar prinsip lex certa, yaitu hukum harus dirumuskan secara jelas, yang merupakan bagian dari asas negara hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Tanpa adanya pembatasan normatif, aparat kepolisian dapat menyatakan suatu situasi sebagai “kepentingan umum” hanya berdasarkan ketakutan, kekhawatiran, atau praduga subjektif, bukan berdasarkan parameter hukum yang objektif. Ini berpotensi menciptakan ketimpangan kekuasaan antara aparat dan warga, di mana tindakan pembatasan hak-hak warga menjadi sulit dilawan secara hukum karena tidak ada standar yang jelas.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Polri bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “ayat (1) ‘Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.”
Nasihat Hakim Konstitusi
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menasihati Pemohon agar memperhatikan lima parameter kerugian konstitusional dalam pengujian UU di MK.
“Pada permohonan ini, kerugian Pemohon masih kurang, jadi masih bisa dielaborasi lagi. Pada petitum ada empat, antara petitum kedua dan ketiga ini dapat dimaknai sama atau bisa saja kontradiktif, jadi perlu disempurnakan lagi,” kata Hakim Konstitusi Ridwan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan catatan penting mengenai pasal yang dimohonkan pengujian ini pernah diputus oleh MK sebelumnya.
“Untuk itu, perlu memperhatikan Putusan Nomor 42/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 104/PUU-XXII/2022 dalam mempedomani perbaikan permohonan ini,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa, 1 Juli 2025 pukul 12.00 WIB. Selanjutnya, Pemohon akan diinformasikan untuk sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.”(Red)”
Editor: Tamrin