PALANGKARAYA,Penasilet.com – Kasus dugaan pemerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi berpangkat AIPTU berinisial H.M alias H. Mustafa terus menjadi sorotan publik. Korban dalam kasus ini, Risky Andika, bersama keluarganya, terutama abangnya, Inur, mendesak agar oknum tersebut tidak hanya dinonaktifkan, tetapi juga diberhentikan secara tidak hormat dari institusi kepolisian.
Kronologi Kejadian
Peristiwa ini terjadi saat Risky Andika tengah berbelanja di sebuah toko ponsel di depan Pasar Kahayan. Tanpa alasan yang jelas, ia tiba-tiba dihampiri oleh beberapa orang yang mengaku sebagai anggota kepolisian. Mereka langsung mencengkeram leher bajunya dengan kasar dan memborgol tangannya.
“Saya sempat mendengar salah satu dari mereka bertanya kepada rekannya, ‘Apa betul ini orangnya?’ sebelum akhirnya mereka menyeret saya tanpa penjelasan,” ujar Risky Andika. Selasa, (11/2/2025).
Saat itu, ia dituduh sebagai pengguna atau pengedar narkoba. Namun, ketika ia menantang para oknum tersebut untuk melakukan tes urin di tempat sebagai bukti bahwa dirinya tidak bersalah, mereka menolak. Sebaliknya, oknum tersebut justru meminta “uang damai” sebesar Rp3.000.000 agar kasus ini tidak berlanjut dan tidak sampai ke atasan mereka.
Karena keterbatasan ekonomi, keluarga Risky Andika hanya mampu membayar Rp1,5 juta. Uang tersebut pun diserahkan sebagai bentuk tekanan yang mereka alami.
“Saya sangat kecewa dan trauma dengan kejadian ini. Polisi yang seharusnya melindungi masyarakat malah melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini,” ujar Inur, abang kandung Risky Andika, saat diwawancarai awak media.
Tuntutan Keluarga dan Kejanggalan dalam Penanganan Kasus
Keluarga korban tidak tinggal diam. Mereka segera melaporkan kejadian ini ke Propam Polda Kalteng. Sidang kode etik pun telah digelar, dan hasilnya oknum H.M alias H. Mustafa dinonaktifkan dari jabatannya. Namun, keluarga korban merasa hukuman tersebut tidak cukup tegas.
“Kami tidak puas! Jika oknum ini hanya dinonaktifkan, bisa saja di kemudian hari ia kembali bertugas dan mengulangi perbuatannya. Kami ingin dia dipecat dari kepolisian!” tegas Inur.
Tak hanya itu, laporan mereka ke Jatanras Polda Kalteng juga menemui hambatan. Bukannya ditangani dengan serius, mereka malah diarahkan ke SPKT Polda Kalteng. Di sana, mereka mendapat perlakuan kasar dari seorang petugas yang tidak dikenal.
“Saat kami datang untuk melapor, kami malah dibentak. Salah satu petugas bertolak pinggang dan berkata dengan nada kasar, ‘Heh, kalian mau apa?’ Ini sangat tidak pantas!” tambah Inur.
Berdasarkan informasi yang dihimpun awak media, kejadian serupa ternyata sering terjadi di sekitar lokasi penangkapan. Seorang pemilik warung menuturkan bahwa dalam seminggu, ia menyaksikan hingga empat kali penangkapan di warungnya. Namun, saat diminta menjadi saksi, ia menolak karena takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi.
Aspek Hukum: Pelanggaran Kode Etik dan Pidana
Berdasarkan fakta-fakta yang ada, tindakan yang dilakukan oleh oknum H.M alias H. Mustafa berpotensi melanggar beberapa regulasi dalam hukum Indonesia, baik dalam ranah kode etik kepolisian maupun pidana umum.
1. Pelanggaran Kode Etik Kepolisian
Mengacu pada Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, setiap anggota Polri yang menyalahgunakan wewenang, melakukan pemerasan, serta bertindak tidak profesional dapat dikenakan sanksi berat, mulai dari demosi hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Selain itu, dalam kode etik kepolisian, Setiap anggota Polri wajib bertindak jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan tugas. Jika terbukti melakukan pemerasan atau kekerasan terhadap masyarakat, anggota tersebut dapat dijatuhi sanksi etik berat.
2. Pelanggaran Hukum Pidana
Pasal 368 KUHP tentang pemerasan menyatakan bahwa “barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.
Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan menyatakan bahwa “penganiayaan yang menyebabkan luka atau penderitaan fisik dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun”.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, oknum H.M alias H. Mustafa tidak hanya pantas untuk diberhentikan secara tidak hormat, tetapi juga dapat dijerat hukuman pidana.
Tuntutan dan Harapan Keluarga
Keluarga korban berharap agar Kapolresta, Kapolda Kalteng, bahkan Kapolri memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. Mereka menilai bahwa jika tidak ada tindakan tegas, kejadian serupa bisa terus terulang dan merugikan masyarakat lainnya.
“Kami tidak ingin hanya sekadar permintaan maaf! Kami ingin keadilan! Polisi yang seperti ini tidak layak memakai seragam negara!” tegas Inur dengan geram.
Sementara itu, awak media juga mencoba menghubungi oknum polisi yang bersangkutan, namun hingga berita ini diterbitkan, nomor teleponnya tidak dapat dihubungi.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di tubuh kepolisian harus diberantas dengan tegas.
Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih, dan masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari aparat yang benar-benar menjalankan tugasnya secara profesional dan berintegritas.
Reporter: Ira/ irawatie
Editor: Tamrin