Fee Proyek, Mark-up Anggaran, dan Rekayasa Lelang: Modus Umum Korupsi pada Dinas-Dinas Pemerintah Kabupaten dan Kota

Foto: Ilustrasi

Penasilet.com – Korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu permasalahan kronis yang terus menggerogoti keuangan negara dan menghambat pembangunan daerah. Pada tingkat dinas-dinas di pemerintah kabupaten dan kota, modus operandi korupsi ini seringkali berputar pada tiga poros utama: “fee proyek,” mark-up anggaran, dan rekayasa lelang. Kombinasi ketiganya menciptakan lingkaran setan yang merugikan masyarakat dan mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

1. “Fee Proyek”: Pungutan Haram dari Kontraktor

“Fee proyek,” atau sering juga disebut “komisi,” adalah persentase tertentu dari nilai proyek yang secara ilegal diminta oleh oknum pejabat dinas kepada kontraktor yang memenangkan tender. Praktik ini biasanya dilakukan secara terselubung, di luar prosedur resmi, dan menjadi syarat tak tertulis agar sebuah perusahaan bisa mendapatkan atau melanjutkan pekerjaan.

Modus operandi ini seringkali berawal dari “pengkondisian” pemenang lelang. Setelah perusahaan tertentu dipastikan akan memenangkan tender, oknum pejabat akan menghubungi kontraktor dan menyampaikan besaran “fee” yang harus disetorkan. Besaran ini bervariasi, mulai dari persentase kecil hingga puluhan persen, tergantung nilai proyek dan kesepakatan di bawah tangan. Dana “fee” ini kemudian digunakan untuk memperkaya diri pribadi, membeli dukungan politik, atau bahkan disalurkan ke berbagai pihak yang terlibat dalam jaringan korupsi.

Dampaknya sangat merugikan. Kontraktor terpaksa mengurangi kualitas pekerjaan atau menggunakan bahan-bahan di bawah standar untuk menutupi biaya “fee” tersebut. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun tidak berkualitas, tidak tahan lama, dan pada akhirnya merugikan masyarakat yang seharusnya menikmati fasilitas tersebut.

2. Mark-up Anggaran: Penggelembungan Biaya Secara Disengaja

Mark-up anggaran adalah praktik penggelembungan nilai proyek di atas harga pasar atau harga yang wajar. Ini adalah modus yang lebih canggih karena melibatkan manipulasi dalam perencanaan dan penetapan anggaran di awal. Oknum dinas, bekerja sama dengan pihak ketiga atau bahkan konsultan, secara sengaja menaikkan harga satuan barang atau jasa dalam rencana anggaran biaya (RAB) proyek.

Sebagai contoh, harga satu unit komputer yang seharusnya Rp 5 juta bisa dianggarkan menjadi Rp 7 juta, atau biaya konstruksi jalan per meter yang seharusnya Rp 1 juta dinaikkan menjadi Rp 1,5 juta. Selisih inilah yang kemudian menjadi “keuntungan” ilegal bagi para koruptor.

Mark-up anggaran seringkali terjadi pada proyek-proyek yang bersifat teknis dan sulit diaudit oleh masyarakat awam, seperti pengadaan alat kesehatan, sistem informasi, atau infrastruktur yang kompleks. Proses ini melibatkan kolusi antara pejabat dinas, perencana anggaran, dan kadang-kadang juga pihak penyedia barang/jasa yang sudah “dikondisikan” sebelumnya.

Dampak dari mark-up anggaran adalah pemborosan uang negara yang luar biasa. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk proyek-proyek lain yang lebih mendesak atau untuk meningkatkan kualitas layanan publik, justru menguap ke kantong-kantong pribadi.

3. Rekayasa Lelang: Memanipulasi Proses untuk Pemenang Terpilih

Rekayasa lelang adalah praktik pengaturan tender atau lelang pengadaan barang dan jasa agar perusahaan tertentu yang sudah “dikondisikan” menjadi pemenang. Modus ini adalah kunci dari keseluruhan skema korupsi karena tanpanya, praktik “fee proyek” dan mark-up anggaran akan sulit diwujudkan.

Berbagai cara digunakan untuk merekayasa lelang, antara lain:

– Pengaturan Spesifikasi Teknis: Menyusun spesifikasi teknis yang sangat spesifik dan hanya bisa dipenuhi oleh satu atau beberapa perusahaan tertentu yang sudah menjadi target.

– Pembocoran Informasi: Memberikan informasi penting tentang penawaran peserta lain kepada calon pemenang agar bisa membuat penawaran yang lebih kompetitif.

– Pengaturan Dokumen Lelang: Mempersulit peserta lain untuk memenuhi persyaratan administrasi atau teknis, atau sebaliknya, mempermudah calon pemenang.

– Persekongkolan Antar Peserta: Beberapa perusahaan sengaja ikut lelang hanya sebagai formalitas untuk memenuhi syarat jumlah peserta, padahal sudah ada satu perusahaan yang disepakati untuk menang (tender arisan).

– Peran Pokja/Panitia Pengadaan: Anggota Pokja (Kelompok Kerja) atau Panitia Pengadaan yang berkolusi dengan oknum dinas akan memuluskan jalan bagi pemenang yang sudah ditentukan.

Akibat dari rekayasa lelang adalah terciptanya persaingan tidak sehat, matinya inovasi, dan terdistorsinya mekanisme pasar.

Perusahaan-perusahaan yang jujur dan kompeten terpinggirkan, sementara perusahaan yang berafiliasi dengan jaringan korupsi terus merajalela. Hasilnya, pemerintah tidak mendapatkan barang atau jasa terbaik dengan harga paling efisien, dan kualitas hasil proyek menjadi taruhannya.

Upaya Pemberantasan dan Pencegahan
Pemberantasan korupsi di dinas-dinas pemerintah kabupaten dan kota membutuhkan upaya komprehensif dari berbagai pihak.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

– Penguatan Pengawasan Internal: Inspektorat dan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) harus diperkuat kemandirian dan kapasitasnya untuk melakukan audit investigatif yang mendalam.

– Optimalisasi Peran Aparat Penegak Hukum: Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK harus proaktif dalam mengungkap dan menindak tegas para pelaku korupsi, termasuk pejabat tinggi dinas.

– Penerapan Sistem Pengadaan Elektronik (e-Procurement) yang Ketat: Sistem lelang elektronik yang transparan dan akuntabel harus diterapkan secara konsisten, dengan meminimalisir interaksi langsung antara penyedia dan pejabat.

– Peningkatan Integritas Pejabat: Pemberian pendidikan antikorupsi, penegakan kode etik, dan sanksi tegas bagi pelanggar.

– Partisipasi Masyarakat: Mendorong peran serta aktif masyarakat dalam mengawasi proses pengadaan barang dan jasa, melalui pelaporan dugaan korupsi dan pemanfaatan kanal pengaduan.

– Transparansi Anggaran: Mempublikasikan secara detail rencana dan realisasi anggaran proyek agar mudah diakses dan diawasi oleh publik.

Korupsi “fee proyek,” mark-up anggaran, dan rekayasa lelang adalah cerminan dari lemahnya sistem, integritas, dan pengawasan. Dengan komitmen kuat dari pemerintah, dukungan masyarakat, dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, diharapkan praktik-praktik koruptif ini dapat diberantas demi terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif, dan melayani.

Ditulis Oleh: Tim Redaksi Penasilet.com
Editor. : Tamrin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!