Foto: Ilustrasi
SUMATERA SELATAN,Penasilet.com – Di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur yang kerap dibanggakan di berbagai forum resmi, ada wajah kelam yang menyelimuti pengelolaan anggaran pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan. Anggaran yang seharusnya menjadi alat pemerataan kesejahteraan, justru rawan menjadi ladang bancakan oleh oknum pembuat kebijakan, pejabat pelaksana proyek, hingga pihak swasta yang haus keuntungan instan.
Laporan investigatif dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa proyek-proyek besar, baik yang bersumber dari APBD Provinsi maupun dana transfer pusat, di beberapa kabupaten/kota di Sumsel, seperti Musi Banyuasin, Muara Enim, Ogan Ilir, OKU, OKU Timur, Empat Lawang, Musi Rawas, dan lainya, kerap dikendalikan oleh jaringan kepentingan yang mengedepankan praktik kongkalikong. Mekanisme tender kerap didesain untuk “pengusaha titipan”, bukan berdasarkan kompetensi.
Fee Proyek Jadi Rahasia Umum
Praktik fee proyek bukan lagi isu tabu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap proyek bernilai besar hampir selalu disertai “jatah” untuk oknum tertentu, mulai dari tingkat kepala dinas, bupati/walikota, hingga anggota legislatif. Besaran fee pun bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 25 persen dari nilai proyek.
“Kalau tidak setor fee, ya siap-siap dicoret. Banyak proyek infrastruktur yang dikerjakan bukan karena skala prioritas kebutuhan rakyat, tapi karena siapa yang bisa bayar lebih,” ujar seorang kontraktor lokal yang enggan disebutkan namanya.
Penyalahgunaan Jabatan dalam Penentuan Proyek
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) diduga kerap dijadikan alat tawar-menawar politik. Kepala daerah dan pejabat dinas terkait memainkan peran kunci dalam mengatur siapa yang mendapat proyek dan siapa yang didepak, berdasarkan kedekatan politik dan loyalitas, bukan berdasarkan profesionalisme.
Kondisi ini membuat banyak proyek mangkrak, kualitas rendah, bahkan tidak memiliki dampak nyata bagi masyarakat. Contoh konkret dapat dilihat dari beberapa proyek jalan dan jembatan di wilayah pelosok yang baru selesai dibangun, namun sudah rusak parah akibat material murahan dan pekerjaan asal-asalan.
KPK dan Kejaksaan: Alarm Bahaya Sudah Dibunyikan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam beberapa tahun terakhir telah menangani berbagai kasus yang menyeret pejabat daerah terkait korupsi proyek pembangunan. Kasus-kasus besar seperti dugaan korupsi proyek multiyears Musi Banyuasin, pembangunan Pasar Cinde Palembang, serta dugaan penyelewengan kerja sama pemanfaatan aset daerah terus membuktikan bahwa sistem masih rapuh dan penuh celah.
“Skema proyek yang seolah-olah legal, namun penuh rekayasa anggaran, sudah lama menjadi pola. Di balik meja anggaran itu, ada para aktor yang bermain: dari legislatif hingga eksekutif. Mereka sama-sama menikmati hasil kotor dari proyek-proyek ini,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik dari Universitas Sriwijaya, dikatakannya kepada media beberapa waktu yang lalu.
Keterlibatan Elite Politik dan Dinasti Kekuasaan
Ironisnya, banyak proyek justru diduga menguntungkan keluarga pejabat atau kelompok politik tertentu. Usaha konstruksi atau pengadaan barang dan jasa sering kali dimonopoli oleh perusahaan milik keluarga, rekan dekat, atau orang kepercayaan kepala daerah. Tender formal hanya jadi formalitas.
Beberapa laporan LSM lokal mengindikasikan bahwa jaringan kekuasaan ini sudah tertata rapi sejak tahap perencanaan, pemetaan kebutuhan, hingga distribusi anggaran. Hasilnya: anggaran habis, proyek jalan di tempat, rakyat tetap sengsara.
Perlu Transparansi dan Pengawasan Ketat
Realitas ini menegaskan satu hal: reformasi anggaran dan sistem tender di Sumatera Selatan adalah keniscayaan. Pemerintah pusat, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil harus memperkuat sistem transparansi, mendorong e-budgeting yang akuntabel, dan memberantas praktik gratifikasi serta fee proyek.
Tanpa langkah tegas, anggaran pembangunan yang sedianya menjadi tulang punggung kemajuan daerah, hanya akan terus menjadi bancakan elite dan memperdalam ketimpangan.
“Korupsi dalam proyek pembangunan bukan hanya soal uang, tapi soal merampas hak rakyat untuk hidup layak.” “(Tim/Red)”.
Editor: Tamrin
#Editorial
#Kupas
#Jejak
#Kasus
#Korupsi
#Sumsel