Penasilet.com, Sabtu, (10/5/2025) – Di tengah dinamika politik dan sosial yang terus bergulir, peran pers yang independen dan kritis semakin krusial. Tugas utama jurnalisme bukanlah sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan.
Esensi keberadaan pers yang sehat terletak pada kemampuannya untuk mengawasi, mengkritisi, dan bahkan “menggonggong” ketika ada indikasi penyimpangan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas.
Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, muncul kekhawatiran akan adanya pergeseran peran sebagian media dan jurnalis. Alih-alih menjadi pilar keempat demokrasi yang mengawasi kekuasaan, justru terlihat tendensi untuk menjadi “buzzer” atau bahkan “bumper” bagi kelompok atau individu tertentu yang berkuasa. Praktik ini tidak hanya mencederai etika jurnalistik, tetapi juga mengancam kualitas demokrasi itu sendiri.
Kontrol kekuasaan yang diemban pers memiliki cakupan yang luas. Ini meliputi pengawasan terhadap kebijakan publik, praktik pemerintahan, penggunaan anggaran negara, hingga perilaku para pejabat publik. Melalui investigasi mendalam, pelaporan yang akurat, dan analisis yang tajam, pers bertugas untuk membuka tabir potensi penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau kebijakan yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Ketika pers menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik, ia menjadi mitra masyarakat dalam memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara bertanggung jawab dan transparan. Informasi yang disajikan oleh media yang kredibel memungkinkan publik untuk memahami isu-isu penting, membentuk opini yang berdasarkan fakta, dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Sebaliknya, ketika pers terjebak dalam peran sebagai “buzzer” atau “bumper” penguasa, independensinya terkikis. Informasi yang disajikan cenderung menjadi alat propaganda atau pembenaran atas tindakan pihak tertentu.
Kritik konstruktif dihindari, dan potensi penyimpangan kekuasaan justru ditutupi atau dibelokkan. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber informasi yang objektif dan terpercaya, dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan menjadi lemah.
Profesi jurnalisme memiliki kode etik yang jelas, yang salah satunya menekankan pada independensi dan keberimbangan. Seorang jurnalis sejati harus berdiri tegak di atas semua kepentingan, kecuali kepentingan publik. Loyalitas utama seorang jurnalis adalah pada kebenaran dan hak masyarakat untuk tahu. Menjadi “buzzer” atau “bumper” jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip mendasar ini.
Tantangan bagi pers saat ini memang tidak ringan. Tekanan ekonomi, polarisasi politik, dan derasnya arus informasi di era digital menjadi ujian tersendiri. Namun, di tengah tantangan tersebut, komitmen untuk menjalankan fungsi kontrol kekuasaan harus tetap menjadi kompas utama. Jurnalisme yang berintegritas tidak akan gentar untuk mengkritisi siapapun yang berkuasa, demi menjaga kepentingan publik dan tegaknya keadilan.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga independensi pers. Dukungan terhadap media yang kredibel dan kritis, serta kemampuan untuk memilah informasi yang berkualitas dari propaganda, akan memperkuat posisi pers sebagai pilar demokrasi yang sesungguhnya.
Mari kita kembali pada khitah pers sebagai pengawal kebenaran dan pengontrol kekuasaan. Bukan sebagai alat pembenaran atau tameng pelindung bagi pihak-pihak tertentu. Karena hanya dengan pers yang independen dan kritis, demokrasi yang sehat dan akuntabel dapat terwujud.”(Tim/Red)”.
Oleh: Tamrin
Penulis adalah Redaksi Media Penasilet.com