SILET. Kabupaten Tangerang | Sebuah pengungkapan baru-baru ini memicu gelombang kontroversi terkait dugaan penjualan sejumlah lahan fasilitas sosial dan umum (fasos fasum) di Desa Bencongan, Kabupaten Tangerang. Lahan-lahan tersebut, yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat umum, diduga telah dijual kepada PT. Bina Sarana Mekar dalam kurun waktu antara tahun 1993 hingga 1996.
Dugaan ini mencuat di tengah kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset negara, terutama yang berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun).
Menurut informasi yang beredar, lahan yang dijual meliputi berbagai bidang dengan ukuran dan tujuan yang berbeda. Salah satunya adalah satu bidang lahan penghijauan seluas 5.625 meter persegi yang dijual dengan harga Rp 20.000 per meter persegi.
Selain itu, terdapat pula dua puluh bidang lahan penghijauan lainnya dengan total luas 4.425 meter persegi yang dijual seharga Rp 80.000 per meter persegi. Tak hanya itu, sebuah lahan pemakaman dengan luas 4.000 meter persegi (berukuran 50 x 80 meter) juga diserahkan kepada PT. Bina Sarana Mekar sebagai bagian dari transaksi tersebut.


Apa yang membuat transaksi ini begitu kontroversial adalah fakta bahwa Ditjenbun, yang saat itu mengawasi lahan-lahan ini, tidak memiliki hak atau kewenangan untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan tanah tersebut.
Hal ini disebabkan karena sejak tahun 1979, tanah-tanah tersebut telah ditetapkan sebagai tanah negara yang langsung dikuasai oleh pemerintah, sehingga segala bentuk transaksi yang melibatkan tanah tersebut harus sesuai dengan ketentuan dan persetujuan yang sah dari pihak pemerintah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana lahan yang seharusnya menjadi milik publik dan diperuntukkan bagi kepentingan umum, bisa berpindah tangan ke pihak swasta tanpa ada proses yang transparan dan sesuai aturan.
Para pengamat hukum menyebut bahwa jika dugaan ini benar, maka tindakan tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap integritas pengelolaan aset negara.
Usman Muhammad SH, seorang Tim Hukum PT. Satu Stop Sukses yang secara aktif memantau kasus ini, menegaskan bahwa penjualan lahan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum yang berlaku.
“Ditjenbun tidak berhak untuk menjual tanah-tanah tersebut karena sejak tahun 1979, lahan-lahan itu sudah menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Ini adalah tindakan yang jelas melanggar aturan dan bisa membawa konsekuensi hukum yang serius,” tegas Usman Muhammad SH selaku aktivis kebijakan pemerintah. Senin, (12/8/2024).
Lebih lanjut, Usman Muhammad menyatakan bahwa tindakan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi pengelolaan lahan negara di masa depan.
“Jika lahan-lahan negara bisa begitu saja dijual kepada pihak swasta tanpa proses yang sah, apa yang akan terjadi dengan aset-aset negara lainnya? Kita harus memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan aset-aset ini,” ujarnya dengan nada keras.
Kasus ini pun kini menjadi sorotan publik, yang menuntut adanya penyelidikan mendalam dan transparan terhadap transaksi-transaksi tersebut.
Publik ingin mengetahui siapa saja pihak yang terlibat dalam penjualan lahan ini dan apa motif di baliknya.
Selain itu, ada desakan agar pihak berwenang segera mengambil langkah tegas untuk mengembalikan lahan-lahan tersebut kepada negara dan memastikan bahwa tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi di masa depan.
Sementara itu, pihak Ditjenbun sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan ini. Namun, tekanan dari masyarakat dan para ahli hukum terus meningkat, menuntut adanya klarifikasi dan tindakan cepat dari pemerintah.
Jika kasus ini tidak segera ditangani dengan serius, dikhawatirkan akan memicu ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap pemerintah dalam mengelola aset negara.
Pada akhirnya, penjualan lahan fasos fasum ini membuka mata banyak pihak tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara.
Kasus ini bisa menjadi batu ujian bagi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola lahan negara, serta menjaga kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah dalam menjalankan amanah rakyat.
Selain itu, tindakan Ditjenbun tidak berhenti pada penjualan lahan tersebut. Usman Muhammad juga mengungkapkan bahwa Ditjenbun diduga turut membantu PT. Bina Sarana Mekar dalam memblokir akses ke lahan seluas 14 hektar sebelum pemilik lahan sah, Yayan, memiliki kesempatan untuk masuk.
Bahkan pemilik lahan yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) juga tidak diizinkan masuk dan dihadang oleh pihak Paguyuban Bina Mitra.
Kejadian ini memperkuat dugaan bahwa ada upaya sistematis untuk menguasai lahan-lahan tersebut tanpa memperhatikan hak-hak pemilik asli dan aturan yang berlaku.
(is)