LAHAT,Penasilet.com – Langkah cepat dan tegas Polres Lahat dalam menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana penipuan yang merujuk pada UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP, patut diapresiasi. Melalui Laporan Polisi No. LP/B/213/VII/2024/SPKT/Polres Lahat, kasus dugaan penipuan yang menjerat Yery Mediansyah (50), warga Kota Agung, mulai menemukan titik terang setelah lama tertahan.
Setelah hampir lima bulan laporan itu berjalan, Kasat Reskrim Polres Lahat, AKP Redho Rizki Pratama, S.TrK., S.I.K., M.Si, menunjukkan sikap profesional dengan menerbitkan SP2HP Nomor: SP2HP/260.b/IX/2025/Sat Reskrim dan SPDP Nomor: SPDP/124/X/RES.1.11/2025/Sat Reskrim.
Langkah ini bukan hanya menegaskan komitmen kepolisian terhadap transparansi penegakan hukum, tetapi juga membantah anggapan bahwa laporan masyarakat kerap diabaikan.
Namun di balik itu, ada catatan keras. Kasus yang terungkap sejak Juli 2024 ini mestinya tidak perlu menunggu sampai akhir Oktober untuk mendapatkan kejelasan. Publik berhak tahu mengapa proses administrasi hukum bisa berlarut-larut ketika bukti dan pasal yang disangkakan sudah jelas merujuk pada Pasal 378 dan 372 KUHP tentang penipuan dan penggelapan. Di sinilah publik melihat bahwa lambannya birokrasi penegakan hukum sering kali menjadi sumber ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum itu sendiri.
Ketua Umum LSM Gerhana Indonesia, Inuar Efendi, S.H., menilai tindakan Kasat Reskrim Polres Lahat sudah tepat, namun menegaskan agar jangan berhenti pada formalitas administratif.
“SP2HP dan SPDP itu baik, tapi masyarakat menunggu hasil konkret di lapangan, bukan sekadar kertas pemberitahuan. Kami ingin melihat keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegas Inuar kepada media pada Rabu (5/11/2025).
Senada dengan itu, Ramlan, Wakil Ketua I Gerhana Indonesia, menyampaikan kritik tajam terhadap kultur lamban dalam penyidikan.
“Konsistensi harus dibarengi kecepatan dan keberanian. Jangan sampai kasus seperti ini hanya jadi laporan di atas meja tanpa akhir yang jelas,” ujarnya.
Langkah Polres Lahat ini memang patut diapresiasi, namun publik juga menuntut agar penyidikan tidak berhenti di tengah jalan. Keterbukaan informasi dan ketegasan aparat dalam menuntaskan kasus penipuan harus menjadi bukti nyata bahwa hukum masih bekerja, bukan sekadar formalitas seremonial di atas kertas SP2HP dan SPDP.
Gerhana Indonesia menegaskan: Ketika penegakan hukum berjalan setengah hati, maka keadilan bukan lagi panglima, melainkan korban dari kelalaian sistem itu sendiri.”(Red)”
Editor: Tamrin














