Foto: Ilustrasi
Editorial
Oleh: Redaksi Penasilet.com
Kamis, 30 Oktober 2025
JAKARTA,Penasilet.com – Unit Layanan Pengadaan (ULP) di banyak pemerintah daerah kini bukan lagi sekadar lembaga teknis yang mengatur proses lelang barang dan jasa. Ia telah menjelma menjadi “dapur gelap” korupsi berjamaah yang bekerja dalam senyap, sistematis, dan terorganisir rapi. Di balik layar, permainan pengaturan pemenang tender telah menjadi rahasia umum, bukan penyimpangan insidental, melainkan tradisi busuk yang diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya.
🔍 Modus Operandi Busuk yang Dipelihara
1. Pengondisian Dokumen
Spesifikasi teknis sengaja “dikunci” agar hanya perusahaan tertentu yang bisa memenuhi, meskipun secara faktual kualitasnya rendah dan alat kerjanya minim. Pemenang tender seolah legal, padahal seluruh proses sudah diskenariokan sejak awal.
2. Tender Fiktif dan Gagal Tender
ULP kerap “menggagalkan” tender dengan alasan administratif, hanya untuk mengalihkan proyek menjadi penunjukan langsung kepada rekanan titipan. Inilah bentuk perampokan uang rakyat yang dibungkus legalitas palsu.
3. Perusahaan Boneka
Banyak pengusaha menciptakan perusahaan atas nama keluarga, sopir, atau stafnya sendiri, seolah bersaing secara terbuka. Padahal, semuanya dikendalikan satu orang, modus klasik untuk mengelabui sistem e-tender.
4. Fee Proyek dan Setoran Wajib
Pemenang tender “diperas secara halus” dengan kewajiban menyetor 10–30 persen dari nilai proyek kepada pejabat ULP atau kepala dinas. Proyek jadi, tapi anggaran publik sudah bocor sebelum aspal mengering.
5. Intervensi Kepala Daerah
Banyak kepala daerah secara langsung menunjuk siapa yang harus menang tender. Balas jasa politik dan pembiayaan kampanye jadi alasan utama. ULP hanya menjadi stempel formal atas perintah politik kotor.
⚖️ Contoh Kasus Nyata: Cermin Bobroknya Sistem
Kutai Kartanegara: Mantan Bupati Rita Widyasari dipenjara karena mengatur proyek dan menerima fee miliaran rupiah.
Papua Barat: KPK mengusut dugaan pengaturan tender yang melibatkan pejabat dinas dan pengusaha lokal sebagai penyalur fee.
Musi Banyuasin (Muba): OTT KPK tahun 2021 menguak praktik pengondisian pemenang proyek di Dinas PUPR yang menyeret bupati dan pejabat OPD.
Kasus-kasus ini menunjukkan: ULP bukan lagi tempat transparansi, tapi pusat distribusi rente kekuasaan.
💣 Dampak Nyata bagi Rakyat
Proyek asal jadi: Jalan hancur sebelum setahun, gedung retak, drainase mampet.
Ketidakadilan usaha: Pengusaha jujur tersingkir, digantikan mereka yang pandai “menyetor.”
Penyelewengan anggaran: Dana publik yang seharusnya menyejahterakan rakyat justru mengalir ke kantong pejabat.
Akibatnya, rakyat membayar dua kali: lewat pajak dan lewat penderitaan akibat pelayanan publik yang rusak total.
⚖️ Landasan Hukum yang Dilanggar
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pasal 55 KUHP: Turut serta dalam persekongkolan tindak pidana.
Artinya, setiap pejabat yang membiarkan praktik ini ikut menjadi bagian dari kejahatan terstruktur terhadap keuangan negara.
🚨 Penutup: Bongkar dan Bersihkan Sekarang!
Permainan tender di ULP adalah pengkhianatan terhadap prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik. Selama sistem ini dibiarkan, APBD akan terus menjadi “ladang panen” bagi elite korup, sementara rakyat hanya kebagian debu dari pembangunan yang gagal.
Sudah saatnya masyarakat, media, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas bersatu membongkar praktik jahat ini.
Karena jika dibiarkan, pengadaan barang dan jasa pemerintah tak ubahnya ladang korupsi legal yang menghancurkan sendi-sendi keadilan sosial.
Penulis: Redaksi penasilet.com
Editor : Tamrin
#Editorial
#Sorot
#Media

 
							












