Perampokan Tanah Atas Nama Hukum – Legalisasi Ketimpangan oleh Negara

Foto: Ilustrasi
Editorial
Selasa, 28 Oktober 2025
Oleh: Redaksi Penasilet.com

JAKARTA,Penasilet.com – Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi keadilan sosial dan hak asasi manusia, ironi terbesar justru terjadi di akar rumput: tanah rakyat dirampas dengan cara yang sah. Di atas kertas, semuanya tampak legal; namun di lapangan, yang tersisa hanyalah penderitaan, penggusuran, dan kehilangan hak hidup. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi fasilitator yang melegalkan penindasan atas nama hukum dan investasi.

Perampokan tanah hari ini tidak lagi dilakukan dengan senjata dan kekerasan fisik, tetapi dengan tanda tangan pejabat, segel negara, dan pasal-pasal hukum yang direkayasa. Inilah bentuk penjajahan modern, di mana pelaku utamanya bukan kolonial asing, melainkan sistem negara sendiri yang tunduk pada kepentingan modal.

1. Legalitas Rekayasa: HGU dan Izin Usaha sebagai Alat Rampas

Salah satu modus paling masif dalam perampasan tanah adalah pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada korporasi besar di atas tanah masyarakat adat atau tanah ulayat yang telah dikuasai secara turun-temurun. Negara, melalui kebijakan agraria dan perizinan yang timpang, menjadikan dokumen hukum sebagai senjata untuk menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya.

Dalam praktiknya, proses perizinan penuh manipulasi, tanpa persetujuan utuh masyarakat, tanpa konsultasi berarti, bahkan tanpa transparansi. Korporasi masuk dengan dalih “pengembangan ekonomi” dan “investasi strategis”, sementara masyarakat yang menolak dicap penghambat pembangunan.

Legalitas yang mestinya menjamin keadilan berubah menjadi instrumen kolonialisme gaya baru. Negara memberi konsesi puluhan tahun, bahkan bisa diperpanjang, kepada perusahaan perkebunan, tambang, dan kehutanan, seolah tanah itu tidak punya sejarah dan tidak ada penghuninya.

2. Kasus-Kasus Nyata: Dari Sumatera Hingga Batam

PT Lonsum (Sumatera Utara) dan PT TUN (Kalimantan Tengah) menjadi contoh gamblang bagaimana HGU diberikan di atas tanah masyarakat adat. Konflik pun meledak bertahun-tahun, warga yang menuntut keadilan justru dikriminalisasi.

Kasus Rempang (Batam, 2023) adalah potret terang benderang bagaimana negara bisa menjadi mesin represi. Atas nama Proyek Strategis Nasional, aparat turun tangan menggusur masyarakat yang telah tinggal secara turun-temurun. Hak atas tanah, rumah, dan sejarah komunitas dihapus demi investor.

Semua terjadi bukan karena rakyat melanggar hukum, melainkan karena hukum itu sendiri sudah dibelokkan untuk melayani kepentingan pemodal.

3. Hukum yang Dibengkokkan: Pasal Demi Pasal Dikhianati

Padahal konstitusi dan undang-undang secara tegas melindungi hak rakyat atas tanah:

UUD 1945 Pasal 28H ayat (4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: menjamin hak atas tanah sebagai bagian dari hak ekonomi dasar.

UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA): mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: menyatakan “hutan adat bukan lagi hutan negara.”

Namun, semua dasar hukum ini seringkali disingkirkan demi kepentingan kapital dan investasi. Hukum yang seharusnya melindungi justru digunakan untuk mengukuhkan ketimpangan. Legitimasi hukum berubah menjadi tameng kejahatan struktural.

4. Negara Sebagai Broker, Bukan Pelindung

Dalam banyak kasus agraria, negara tampil bukan sebagai penengah, melainkan sebagai perantara antara korporasi dan tanah rakyat. Birokrasi perizinan yang rumit justru dijadikan alat barter kepentingan politik dan ekonomi. Ketika konflik pecah, negara hadir bukan dengan solusi, melainkan dengan aparat bersenjata dan surat perintah pengosongan.

Akibatnya, ratusan ribu keluarga kehilangan tanah, rumah, dan identitas sosialnya. Rakyat dipaksa menjadi buruh di atas tanah yang dulu mereka miliki.

5. Penutup: Saatnya Melawan Legalisasi Ketimpangan

Apa yang disebut sebagai “legalitas” dalam konflik agraria tidak selalu identik dengan keadilan. Dalam konteks ini, legalitas sering kali hanyalah kekuasaan yang diformalisasi. Ketika hukum dijalankan tanpa nurani, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan tirani yang sah secara administratif.

Negara yang berpihak pada modal telah mengkhianati konstitusi dan cita-cita kemerdekaan. Legalisasi perampasan tanah adalah wajah lain dari korupsi struktural, yang menyaru dalam bentuk pembangunan dan investasi.

Kini saatnya masyarakat bersatu memperjuangkan reforma agraria sejati, bukan sekadar pembagian sertifikat tanpa makna. Supremasi hukum sejati hanya akan lahir bila negara berhenti menjadi makelar korporasi dan kembali menjadi pelindung hak rakyat atas tanah ruang hidup yang seharusnya diwariskan, bukan diperjualbelikan.

“Akhir Kata Segenap jajaran Redaksi mengucapkan Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928”

Penulis: Redaksi Penasilet.com
Editor : Tamrin

#Editorial
#Sorot
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!