Modus Korupsi di Daerah Dari Fee Proyek hingga Jual Beli Jabatan: Pejabat Daerah Kini Pedagang Kekuasaan

Foto: Ilustrasi
Editorial
Oleh: Redaksi Penasilet.com
Senin, 27 Oktober 2025

JAKARTA,Penasilet.com – Korupsi di lingkungan pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia bukan lagi sekadar penyimpangan perilaku individu atau “oknum nakal”, tetapi telah menjelma menjadi pola sistemik yang mengakar dan membudaya. Dalam praktiknya, banyak pejabat daerah yang menjadikan jabatan publik sebagai instrumen memperkaya diri dan kelompoknya melalui berbagai modus: fee proyek, jual beli jabatan, mark up anggaran, dan rekayasa pemenang tender.

Ironisnya, meski puluhan kepala daerah sudah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik korupsi di daerah justru terus beregenerasi dan bertransformasi.

1. Fee Proyek dan Mark Up Anggaran: Pembangunan Sebagai Ladang Setoran

Salah satu modus paling lazim adalah fee proyek dan mark up anggaran. Oknum pejabat daerah sering meminta “jatah” komisi dari setiap proyek pembangunan yang didanai APBD atau Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan kisaran antara 10 hingga 30 persen dari nilai proyek. Akibatnya, kualitas pembangunan rendah karena dana riil di lapangan terpangkas untuk setoran kepada pejabat.

Praktik mark up juga marak dalam pengadaan barang dan jasa. Banyak proyek fiktif atau tidak prioritas muncul hanya demi “mengamankan setoran” bagi pihak tertentu.

Contoh Kasus:
Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin, ditangkap KPK (2022) karena mewajibkan kontraktor penyetor fee proyek hingga 15 persen dari nilai pekerjaan infrastruktur. Uang itu disalurkan melalui kroninya dan dipakai untuk kepentingan pribadi serta politik.

Kasus Lampung (2023): viralnya jalan rusak parah memunculkan dugaan kuat adanya praktik mark up dan pemotongan anggaran proyek, hingga akhirnya Presiden turun tangan memerintahkan evaluasi dana infrastruktur daerah.

Akibat sistem seperti ini, pembangunan di banyak daerah hanya tampak megah di papan proyek, tapi roboh di lapangan.

2. Jual Beli Jabatan: Birokrasi Jadi Bursa Kekuasaan

Fenomena jual beli jabatan bukan lagi rahasia umum. Jabatan struktural di Pemda kerap diperjualbelikan dengan tarif bervariasi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung posisi dan akses politik. Kepala daerah menjadikan promosi jabatan sebagai “ladang basah”, sementara ASN bermental pragmatis ikut masuk dalam permainan demi karier cepat naik.

Hal ini jelas melanggar asas meritokrasi, menempatkan individu tidak berdasarkan kompetensi, tetapi kemampuan membayar.

Contoh Kasus:
Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari (2021) bersama suaminya, anggota DPR RI Hasan Aminuddin, dijerat KPK karena memperjualbelikan jabatan kepala desa. Tarifnya mencapai Rp20 juta per posisi.

Kasus Pemkab Labuhan Batu (Sumut), di mana pejabat ASN harus “menyetor” agar dilantik dalam jabatan strategis, praktik yang dianggap “biasa” demi mempertahankan loyalitas politik.

Budaya ini menciptakan birokrasi yang korup dari akar, karena pejabat yang “membeli jabatan” akan berupaya balik modal melalui korupsi anggaran.

3. Rekayasa Pemenang Tender: Tender Cuma Formalitas

Dalam banyak kasus, proses lelang proyek pemerintah hanya formalitas administratif.
Pemenang tender sudah “diatur” jauh sebelum dokumen diumumkan. Perusahaan “titipan” atau milik kroni pejabat dipastikan menang dengan cara rekayasa dokumen, manipulasi nilai penawaran, hingga permainan panitia lelang.

Contoh Kasus:
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi (2022) ditangkap KPK karena mengatur pemenang proyek dan menerima fee miliaran rupiah. Perusahaan yang ingin menang tender harus menyetor “uang administrasi” kepada pihak tertentu.

Kasus Dinas PUPR Kabupaten Bandung Barat (2018) juga menunjukkan pola sama, kontraktor wajib memberikan setoran agar proyek cair.

Akibatnya, kontraktor bekerja asal-asalan untuk menutupi modal “setoran”, sehingga kualitas infrastruktur menjadi korban utama.

4. Landasan Hukum yang Dilanggar

Praktik-praktik korupsi tersebut jelas bertentangan dengan berbagai peraturan hukum yang berlaku:

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN (larangan jual beli jabatan),

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e UU Tipikor, yang mengatur penyalahgunaan wewenang dan suap terkait jabatan.

Artinya, tidak ada ruang abu-abu: semua praktik ini adalah tindak pidana korupsi dengan konsekuensi hukum yang jelas.

5. Mengapa Terus Terjadi?

Meskipun sudah banyak operasi tangkap tangan (OTT), korupsi di daerah tetap marak karena:

Lemahnya pengawasan internal (Inspektorat/APIP) dan eksternal (BPK, BPKP),

Budaya impunitas: banyak pejabat korup hanya dipindahkan, bukan ditindak,

Partai politik yang menjadikan jabatan publik sebagai alat transaksi politik dan sumber pendanaan,

Minimnya efek jera: hukuman ringan, vonis tidak maksimal, dan remisi mudah didapat,

Sistem yang seharusnya membangun daerah justru dikuasai oleh jejaring kepentingan yang saling melindungi.

6. Solusi dan Harapan: Membangun Sistem yang Bersih dan Transparan

Pemberantasankorupsi di Pemda tidak bisa lagi hanya mengandalkan KPK atau aparat hukum pusat. Perlu pendekatan sistemik dan kultural yang menyentuh akar masalahnya.

Beberapa langkah strategis:

Perkuat APIP dan sistem e-budgeting agar seluruh anggaran daerah transparan dan terpantau publik.

Reformasi sistem rekrutmen ASN berbasis kompetensi dan tanpa campur tangan politik.

Dorong partisipasi masyarakat, LSM, dan media lokal dalam mengawasi proyek daerah.

Perkuat independensi penegak hukum daerah agar tidak tunduk pada tekanan politik lokal.

Digitalisasi penuh proses pengadaan dan kepegawaian, dari perencanaan hingga pembayaran.

7. Penutup: Korupsi Merampas Hak Rakyat

Korupsi di daerah bukan sekadar merugikan keuangan negara, tetapi merampas hak rakyat atas pelayanan publik yang adil dan pembangunan yang berkualitas. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti satu jalan yang tak dibangun, satu sekolah yang tak direnovasi, dan satu rakyat miskin yang tak terbantu.

Jika praktik ini terus dibiarkan, maka otonomi daerah hanya menjadi “otonomi korupsi” di mana kekuasaan lokal digunakan untuk menjarah, bukan melayani. Pemberantasan korupsi daerah harus menjadi agenda nasional prioritas, bukan sekadar retorika menjelang pemilu.

Akankah jadi budaya di negeri yang berasaskan Pancasila ini “Pembangunan Jadi Panggung Korupsi, Sementara Rakyat Cuma Penonton”?

Penulis: Redaksi Penasilet.com
Editor : Tamrin

#Editorial
#Sorot
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!