Mengapa BUMN, BUMD, hingga BUMDesa Banyak yang Merugi Setiap Tahun?

Foto: Ilustrasi
Editorial
Oleh: Redaksi Penasilet.com
Minggu, 26 Oktober 2025

JAKARTA,Penasilet.com – Fenomena kerugian yang berulang pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hingga Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) bukanlah sekadar persoalan laporan keuangan yang minus. Ini adalah cermin kegagalan struktural negara dalam mengelola aset publik secara profesional, transparan, dan berintegritas.

Di balik angka-angka kerugian itu tersimpan penyakit laten: politisasi jabatan, lemahnya tata kelola, intervensi kekuasaan, serta hilangnya orientasi pada kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.

1. Politisasi Jabatan dan Nepotisme: Kursi Direksi Jadi Komoditas Politik

Salah satu akar kerugian kronis BUMN dan BUMD adalah politisasi jabatan.
Direksi dan komisaris kerap dipilih bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan politik dan balas jasa pasca-pemilu. Akibatnya, perusahaan strategis negara justru dikelola oleh orang-orang yang tidak memahami industri dan tidak punya visi bisnis.

Alih-alih mengejar efisiensi, mereka sibuk menjaga citra politik.

Sebagai contoh, dalam kasus PT Garuda Indonesia, laporan keuangan tahun 2021 menunjukkan kerugian triliunan rupiah setelah bertahun-tahun dikelola dengan intervensi politik kuat. Di balik itu, terungkap skandal pengadaan pesawat dan sewa armada yang sarat kolusi, di mana kebijakan bisnis diputuskan bukan berdasarkan analisis pasar, tetapi tekanan politik dan kepentingan elite.

BUMN pun berubah menjadi ladang penempatan loyalis kekuasaan, bukan motor penggerak ekonomi nasional.

2. Lemahnya Tata Kelola dan Pengawasan: GCG Sekadar Slogan

Prinsip Good Corporate Governance (GCG) di BUMN dan BUMD sering kali hanya formalitas. Dewan komisaris dan pengawas tak jarang berfungsi simbolik, tidak mampu mengontrol direksi atau mencegah penyimpangan.

Contoh nyata adalah kasus Jiwasraya dan Asabri, dua BUMN besar yang runtuh akibat investasi fiktif dan penyalahgunaan wewenang. Kerugian negara mencapai lebih dari Rp 20 triliun, sementara sistem audit internal gagal mendeteksi manipulasi laporan investasi selama bertahun-tahun.

Kasus ini menjadi bukti bahwa tanpa pengawasan yang independen dan transparan, uang rakyat bisa menguap dalam sunyi.

Di tingkat daerah, banyak BUMD energi dan air minum juga mengalami defisit kronis karena pengelolaan keuangan yang amburadul, mark-up proyek, dan penyimpangan pengadaan.

3. Intervensi Politik dan Beban Sosial: Ketika BUMN Jadi Alat Kekuasaan

Tidak sedikit BUMN/BUMD yang dipaksa menjalankan program populis non-komersial demi kepentingan elektoral pejabat publik.

Misalnya, proyek infrastruktur yang secara ekonomi tidak layak, namun tetap dipaksakan karena “arah politik” dari penguasa.

Contoh mencolok terlihat pada sejumlah BUMD transportasi di Jawa dan Sumatera yang terpaksa membuka rute baru menjelang Pilkada meskipun studi kelayakan menunjukkan potensi rugi tinggi. Setelah masa kampanye usai, operasional mandek dan utang menumpuk.

Beban sosial yang dipaksakan tanpa kompensasi dari APBD/APBN itu memperparah keuangan perusahaan. Ironisnya, yang menanggung kerugian adalah rakyat melalui pajak dan subsidi, sementara elite politik tetap menuai citra positif.

4. Pengelolaan BUMDesa yang Tidak Profesional: Dana Desa Jadi “Proyek Musiman”

BUMDesa yang dirancang sebagai penggerak ekonomi desa sering kali berubah menjadi proyek seremonial.

Dana desa digunakan untuk membentuk BUMDes tanpa rencana bisnis matang. Akibatnya, banyak BUMDesa yang mati suri setelah tahun pertama beroperasi.

Contoh konkret terjadi di Kabupaten Lombok Timur (NTB), di mana lebih dari 60 persen BUMDes dilaporkan tidak aktif karena tidak memiliki unit usaha yang berjalan dan laporan keuangan yang transparan.

Audit Inspektorat bahkan menemukan indikasi penyelewengan dana desa dan penggunaan fiktif untuk modal usaha.

Akuntabilitas nihil, laporan tidak disusun dengan standar akuntansi, dan masyarakat tidak pernah tahu ke mana uang desa mereka mengalir.

Padahal, setiap rupiah yang hilang dari kas BUMDesa sejatinya adalah kerugian negara.

5. Gagal Beradaptasi di Era Digital: BUMN Tertinggal di Zaman 4.0

Di tengah revolusi digital, sebagian besar BUMN dan BUMD masih terjebak dalam birokrasi kuno.

Mereka lamban berinovasi, sulit mengambil keputusan cepat, dan gagal membaca perubahan pasar.

Sementara sektor swasta melesat dengan e-commerce, teknologi finansial, dan efisiensi digital, BUMN masih berkutat dengan tanda tangan berlapis dan rapat tak berkesudahan.

Ketertinggalan ini bukan sekadar soal teknologi, tapi soal mentalitas birokratis yang tidak kompatibel dengan dunia bisnis modern. Akhirnya, BUMN kehilangan daya saing dan terus membebani APBN.

Implikasi Hukum: Kerugian Negara Adalah Tindak Pidana, Bukan Salah Kelola Biasa

Bila kerugian BUMN/BUMD/BUMDesa terjadi akibat penyalahgunaan wewenang atau tindakan melawan hukum, maka hal itu dapat dijerat pidana korupsi, sesuai dengan:

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 dan 3).

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Pasal 34) yang mewajibkan pengelolaan keuangan negara secara akuntabel.

PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, yang menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.

Artinya, kerugian negara tidak boleh dipandang sebagai risiko bisnis semata. Bila ada unsur penyalahgunaan kekuasaan, kelalaian berat, atau tindakan memperkaya diri sendiri, maka harus diproses hukum.

Penutup: Reformasi Total atau Runtuh Perlahan

Kerugian yang terus berulang dari tahun ke tahun menunjukkan satu kebenaran pahit:
BUMN, BUMD, dan BUMDesa memerlukan reformasi total, bukan tambal sulam.

Selama jabatan masih dijadikan alat politik, pengawasan hanya simbolik, dan kepentingan rakyat dikalahkan oleh kepentingan elite, maka siklus kerugian akan terus berulang.

Negara kehilangan potensi pendapatan.
Masyarakat kehilangan manfaat.
Dan kepercayaan publik terhadap institusi negara makin tergerus.

BUMN/BUMD/BUMDesa seharusnya menjadi lokomotif kemakmuran, bukan monumen kegagalan tata kelola.

Kini saatnya negara berpihak pada profesionalitas, transparansi, dan integritas, bukan pada politik balas budi dan bagi-bagi kekuasaan.

Penulis: Redaksi Penasilet.com
Editor : Tamrin

#Editorial
#Sorot
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!