MUSI BANYUASIN,Penasilet.com – Kilas balik kasus dugaan mafia tanah di wilayah perkebunan Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, kembali menjadi sorotan tajam publik. Sejak awal tahun 2024, penyidikan intensif telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Muba terhadap pengelolaan ribuan hektar lahan kebun PT Guthrie Pecconinna Indonesia (GPI) yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU), tanpa mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) resmi selama puluhan tahun.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan potensi kerugian negara dengan total nilai mencapai Rp79 miliar akibat pajak dan denda yang tak pernah disetorkan. Tidak hanya itu, terungkap pula praktik pemalsuan dokumen jual beli tanah dan Surat Pengakuan Hak (SPH) yang dilakukan melalui manipulasi oleh oknum pejabat kelurahan, kecamatan, dan koperasi unit desa (KUD).
Lahan plasma masyarakat selama 13 tahun diduga dikelola oleh GPI dan KUD tanpa hak yang sah. Penerima hasil bukanlah pemilik tanah, tetapi pihak lain yang menikmati keuntungan secara rutin—praktik yang disebut-sebut masuk dalam pola pencucian uang.
Ketua LIPER-RI Muba, Arianto, S.E., yang juga merupakan Komando Perjuangan Rakyat, mengungkapkan bahwa temuan di lapangan menunjukkan adanya keterlibatan oknum camat, lurah, hingga pengurus KUD. Bahkan, dokumen proposal yang menunjukkan alokasi dana Rp600 juta untuk pembuatan SPH atas nama kelompok masyarakat ke PT GPI juga telah dikantongi oleh pihaknya.
“Itu saya dapat dari keterangan beberapa warga saat dimintai keterangan oleh penyidik Kejari Muba. Sementara oknum camat, lurah, dan pengurus KUD belum sepenuhnya diperiksa,” tegas Arianto.
Pengukuran bersama antara BPN, Kejari Muba, dan Forkopimda mencatat bahwa sekitar 4.000 hektar lahan berada di luar HGU, sementara 500 hektar milik kelompok Madani Adenas dikuasai secara ilegal oleh PT GPI dan KUD Muda Rasan Jaya. Ironisnya, masyarakat pemilik lahan tidak pernah menikmati hasilnya, bahkan menjadi korban konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.
“Sudah ada tiga korban meninggal dunia akibat konflik ini dan ada pemilik lahan yang masuk penjara. Ini harus segera dituntaskan!” tegas Arianto dengan nada geram.
Penyidikan yang dimulai sejak Januari 2024 mengacu pada Sprindik Kejari Muba No. B-195/L.6.16/F.d.1101/2025 tertanggal 21 Januari 2025, disusul oleh surat tugas dari Kepala Kantor BPN Muba No. 30/16.06.TU.01/1/2025 pada 22 Januari 2025, guna mengidentifikasi dan menginventarisasi lahan milik masyarakat yang diklaim dikelola oleh PT GPI.
Namun demikian, publik mempertanyakan mengapa proses penyidikan dan penindakan hukum terhadap dugaan praktik mafia tanah ini berjalan lambat dan alot, tidak secepat penanganan kasus lainnya, padahal kerugian negara telah terbukti dan dokumen-dokumen manipulatif sudah ditemukan.
Arianto mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima surat dari Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung tertanggal 18 Juni 2025 yang menyatakan penanganan perkara ini dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumsel. Berkas dan dokumen pendukung telah disampaikan ulang untuk ditindaklanjuti.
Ia juga mendesak Bupati HM. Toha, Ketua DPRD Junaidi Gumai, dan Forkopimda Muba untuk menepati komitmennya membela rakyat, menindak tegas para mafia tanah dan pihak KUD yang telah menguras hasil plasma rakyat selama 13 tahun.
“Jangan ada lagi rakyat Muba yang tertindas karena haknya dirampas perusahaan dan oknum pejabat. Ini perjuangan rakyat, bukan main-main,” tegas Arianto.
Dalam waktu dekat, gabungan ormas, aktivis, dan elemen masyarakat akan menggelar aksi damai besar-besaran di depan Kantor Kejati Sumsel, menuntut agar kasus PT GPI segera diselesaikan secara adil dan transparan.
Sebagai mitra Adhyaksa, Arianto menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum ini demi tegaknya keadilan dan pemberantasan mafia tanah di Bumi Serasan Sekate.
“Kami selalu mendukung Kejaksaan dalam memberantas korupsi dan mafia tanah. Ini adalah perjuangan rakyat yang harus dituntaskan bersama,” pungkasnya.
Penulis: Tim Redaksi
Editor : Tamrin