Foto: Ilustrasi
Oleh: Tim Redaksi
JAKARTA,Penasilet.com – Senin,(29/9/2025) – Kemerdekaan pers di Indonesia ibarat burung yang dilepas dari sangkar, namun kakinya masih terikat rantai. Di atas kertas, UUD 1945 Pasal 28F dengan jelas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Namun, di lapangan, fakta berbicara lain: intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan fisik dan verbal terhadap jurnalis masih marak terjadi.
Media independen yang menjadi pilar demokrasi justru kerap dikooptasi kekuasaan, diintervensi oleh pemilik modal, atau dibungkam secara halus melalui tekanan iklan dan relasi kekuasaan. Banyak media akhirnya kehilangan arah, memilih bermain aman, dan menjauh dari idealisme jurnalistik karena takut “mengusik” kepentingan kelompok tertentu.
Pertanyaannya, mengapa hal ini terus terjadi meskipun kita telah puluhan tahun merdeka? Mungkinkah ini akibat sisa-sisa mental feodal yang diwariskan sejak era penjajahan? Bangsa yang terlalu lama ditindas mungkin secara tidak sadar mewarisi pola relasi kuasa yang otoriter, hierarkis, dan anti kritik. Feodalisme tidak hanya hidup di kalangan elit, tetapi meresap hingga ke sendi masyarakat—menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kebebasan berekspresi.
Di tengah atmosfer semu kemerdekaan itu, kritik dianggap ancaman, pertanyaan tajam dipandang sebagai pembangkangan. Seolah-olah jurnalis harus tunduk, bukan bertanya. Harus memuji, bukan mengungkap. Maka tidak heran jika profesi wartawan masih dianggap sebagai pekerjaan “berbahaya” di Indonesia.
Jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, maka kemerdekaan pers harus dijamin sepenuhnya, tanpa kompromi. Dan untuk itu, kita harus mencabut akar feodalisme yang masih menjalar diam-diam dalam budaya kita. Demokrasi sejati tidak akan tumbuh di tanah yang masih menyuburkan ketakutan, tabu, dan kekuasaan yang anti transparansi.
Penulis: Tim Redaksi
Editor. : Tamrin
#Sorot
#Media