Janji Kampanye yang Diingkari, Rakyat Kembali Jadi Korban Rayuan Gombal Politik

Foto: Ilustrasi
Oleh: Redaksi Penasilet.com
Jum’at, 24 Oktober 2025

JAKARTA,Penasilet.com – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) semestinya menjadi pesta demokrasi yang menggembirakan. Momentum lima tahunan ini seharusnya menjadi sarana rakyat menaruh harapan pada figur yang diyakini mampu membawa perubahan. Namun, dari waktu ke waktu, panggung politik lokal justru menjelma menjadi arena sandiwara. Janji-janji manis dilontarkan, visi-misi dielu-elukan, tapi begitu kursi kekuasaan digenggam, semuanya lenyap ditelan kepentingan. Rakyat pun kembali menjadi korban klasik dari rayuan gombal politik.

Janji Sebagai Alat Politik, Bukan Komitmen Moral

Di setiap masa kampanye, publik disuguhi parade janji spektakuler: pendidikan gratis, rumah layak huni, pelayanan kesehatan terbaik, lapangan kerja melimpah, pembangunan merata. Kata-kata itu dibungkus dengan narasi heroik dan citra kerakyatan, seolah kandidat adalah penyelamat bangsa kecil di daerah. Namun, begitu terpilih, banyak dari mereka seakan terserang “amnesia kekuasaan.” Janji kampanye berubah menjadi kenangan.

Lebih parah lagi, sebagian politisi terang-terangan menganggap janji kampanye hanyalah strategi komunikasi. Tidak ada rasa bersalah ketika rakyat menagih janji yang tak pernah diwujudkan. Padahal, janji politik adalah komitmen moral sekaligus wujud tanggung jawab publik yang seharusnya dipegang teguh.

Kontrak Sosial yang Dikhianati

Kampanye bukan sekadar ritual perebutan suara, melainkan bentuk kontrak sosial antara calon pemimpin dan rakyatnya. Setiap janji yang diucapkan di depan publik adalah kesepakatan moral bahwa jika rakyat memberi mandat, maka pemimpin wajib menepatinya.

Ketika janji itu diingkari, maka yang rusak bukan hanya kepercayaan, tetapi juga nilai dasar demokrasi itu sendiri. Pengingkaran terhadap janji publik adalah bentuk penghianatan terhadap mandat rakyat—sebuah pelanggaran etik politik yang tak boleh dinormalisasi.

Akibatnya: Apatisme dan Krisis Legitimasi

Ketika janji-janji hanya tinggal slogan, rakyat kehilangan kepercayaan. Mereka merasa suara dan partisipasinya sia-sia. Inilah yang kemudian melahirkan siklus apatisme politik: tingkat partisipasi menurun, kritik publik melemah, dan demokrasi tereduksi menjadi seremonial lima tahunan tanpa makna substantif.

Pemimpin yang gagal menepati janji bukan hanya mengecewakan pemilihnya, tapi juga turut menyuburkan krisis legitimasi terhadap lembaga pemerintahan. Rakyat yang kecewa cenderung memandang semua politisi sama, tak bisa dipercaya. Dan di titik inilah, demokrasi kehilangan rohnya.

Pentingnya Evaluasi dan Transparansi Publik

Sudah saatnya rakyat menjadi lebih aktif dan kritis. Janji kampanye harus menjadi tolok ukur kinerja kepala daerah. Media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal, mengevaluasi, dan mempublikasikan capaian para pemimpin daerah secara periodik.

Pemerintah daerah seharusnya diwajibkan menyampaikan laporan kemajuan yang berbasis pada janji kampanye—bukan sekadar pencitraan program. Transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan agar kekuasaan tak berubah menjadi ruang gelap penuh manipulasi.

Sanksi Sosial dan Politik Bagi Politisi Gombal

Rakyat tidak boleh terus-menerus menjadi korban. Politisi yang terbukti gagal menepati janji seharusnya mendapat sanksi sosial dan politik: jangan dipilih lagi. Ingatan kolektif publik adalah senjata demokrasi paling ampuh. Bila rakyat kompak menolak pemimpin yang hanya pandai berjanji, maka kualitas demokrasi akan membaik dengan sendirinya.

Partai politik juga wajib menegakkan etika internal. Calon kepala daerah yang terbukti tidak menunaikan janji publik mestinya tidak diberi tiket pencalonan kembali. Demokrasi yang sehat hanya mungkin tumbuh dari integritas, bukan tipu daya retorika.

Penutup: Saatnya Berani Mengatakan Cukup!

Fenomena kepala daerah yang mengingkari janji kampanye adalah wajah nyata dari kemerosotan etika politik di negeri ini. Rakyat bukan obyek propaganda, bukan penonton dalam sandiwara kekuasaan. Mereka adalah pemilik sah kedaulatan, yang layak dihormati dan dilayani.

Kini saatnya publik bersuara tegas: cukup sudah jadi korban gombalan politik! Demokrasi sejati hanya akan hidup bila rakyat berani menagih janji, menuntut integritas, dan memberi sanksi pada pengkhianat kepercayaan publik. Karena di tangan rakyatlah, martabat politik bangsa ditentukan, bukan di bibir para politisi yang pandai bersandiwara.

Penulis: Redaksi Penasilet.com
Editor : Tamrin

#Editorial
#Sorot
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!