Anggaran Transfer Keuangan Daerah 2026 Dipangkas, Pemerintah Daerah Meringis: Siapa yang Benar-Benar Dirugikan?

Foto: Ilustrasi
Oleh: Tim Redaksi

JAKARTA,Penasilet.com – Pemangkasan anggaran transfer keuangan dari pusat ke daerah kembali terjadi di tengah kondisi fiskal nasional yang menantang. Alokasi Dana Transfer ke Daerah (TKD), seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Bagi Hasil (DBH), mengalami penyesuaian yang signifikan pada APBN 2026.

Hal ini tentu menimbulkan efek domino terhadap kinerja Pemerintah Daerah (Pemda), terutama dalam menjalankan program prioritas pelayanan publik.

Pemerintah Pusat beralasan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari kebijakan penguatan fiskal dan efisiensi anggaran negara. Namun, di sisi lain, Pemda justru meringis. Beban pembangunan dan pelayanan tetap tinggi, sementara ruang fiskal semakin sempit. Realisasi program prioritas daerah pun terancam terbengkalai. Yang paling merasakan dampak langsung tentu rakyat di daerah.

Pertanyaannya: Apakah pemangkasan ini bentuk ketimpangan struktural fiskal?

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia masih bergantung pada transfer pusat. Ketika anggaran dipotong, banyak program kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur desa terhambat. Ini memperlihatkan betapa belum meratanya kemampuan fiskal antar daerah. Otonomi daerah yang semestinya mendorong kemandirian, justru makin melemah karena ketergantungan pada dana pusat.

Celakanya, dalam kondisi pemotongan anggaran ini, praktik korupsi dan pemborosan anggaran di level daerah masih terjadi. Ironis. Pemda mengeluh kekurangan dana, tapi belanja non-prioritas dan tunjangan pejabat tetap berjalan. Artinya, selain masalah kebijakan pusat, problem tata kelola dan prioritas pembangunan di daerah juga menjadi bagian dari persoalan besar.

Solusinya bukan sekadar menaikkan atau menurunkan anggaran, tapi memperkuat tata kelola fiskal yang adil, transparan, dan berbasis kebutuhan rakyat. Pemerintah pusat harus membuka ruang dialog dengan Pemda dalam penentuan kebijakan fiskal, bukan pendekatan top-down. Di saat yang sama, Pemda harus berbenah, memperkuat PAD (Pendapatan Asli Daerah), menutup celah korupsi, dan memastikan setiap rupiah benar-benar dirasakan rakyat.

Karena sesungguhnya, pemangkasan anggaran bukan sekadar soal anggaran itu sendiri, tapi soal siapa yang akhirnya paling terdampak: rakyat kecil.

Jika negara gagal menjamin keseimbangan fiskal pusat-daerah, maka kemiskinan struktural di daerah akan terus berlangsung, dan pembangunan hanya jadi slogan di atas kertas.

Penulis: Tim Redaksi
Editor : Tamrin

#Editorial
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!