Foto: Ilustrasi
Editorial
Kamis, 22 Oktober 2025
Oleh: Redaksi Penasilet.com
JAKARTA,Penasilet.com – Kutipan legendaris George Orwell “Di masa penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner” kini bukan lagi sekadar retorika sastra distopia. Ia menjelma menjadi potret telanjang zaman kita, masa di mana kebohongan dikemas sebagai kebenaran, kritik dianggap makar, dan kejujuran menjadi barang mewah yang diperdagangkan di pasar opini publik.
Kebenaran Dianggap Ancaman
Hari ini, kebenaran tidak lagi dilihat sebagai fondasi moral masyarakat, melainkan sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Setiap data yang mengungkap ketimpangan ekonomi, korupsi, atau kebijakan publik yang menyesatkan, segera dituding sebagai bentuk “provokasi” atau “pencemaran nama baik”.
Kekuasaan yang alergi terhadap kritik justru menunjukkan betapa rapuhnya legitimasi moral yang mereka miliki. Mereka menuntut loyalitas mutlak, bukan kebenaran; kesetiaan personal, bukan integritas publik. Maka, siapa pun yang berani membuka fakta akan diposisikan sebagai musuh negara.
Kontrol Narasi: Wajah Baru Otoritarianisme
Era digital yang mestinya memperluas ruang kebebasan justru dijadikan alat kontrol. Kekuasaan tak lagi membungkam dengan laras senjata, tetapi dengan banjir informasi palsu, propaganda algoritmik, dan pembingkaian naratif yang menyesatkan.
Bukan hanya institusi media yang disusupi, melainkan juga ruang percakapan warga. Setiap tagar, opini, hingga berita daring, bisa direkayasa untuk menggiring persepsi publik. Inilah wajah baru otoritarianisme: halus, canggih, tapi mematikan.
Mereka tidak melarang Anda berbicara — hanya memastikan Anda tidak didengarkan.
Mereka tidak memenjarakan Anda secara fisik cukup dengan menciptakan kebisingan agar kebenaran tenggelam dalam lautan kebohongan.
Kebenaran Sebagai Tindakan Perlawanan
Dalam situasi seperti ini, menyatakan kebenaran menjadi tindakan politik yang paling radikal. Ia tidak selalu berupa demonstrasi atau perlawanan bersenjata, tetapi keberanian untuk berkata “ini salah, dan ini benar” di tengah gelombang kepalsuan yang disponsori kekuasaan.
Kebenaran memiliki daya subversif yang menakutkan bagi para penguasa palsu, karena ia membongkar topeng dan menelanjangi ilusi. Ia menyingkap bahwa “kemakmuran” hanyalah retorika untuk menutupi kerakusan, dan “kestabilan” hanyalah dalih untuk membungkam.
Tanggung Jawab Intelektual dan Moral
Tanggung jawab menjaga kebenaran bukan hanya milik jurnalis, aktivis, atau akademisi. Ia milik setiap warga negara yang masih memiliki nurani. Diam di hadapan kebohongan adalah bentuk pengkhianatan terhadap akal sehat.
Setiap warga yang berpikir jernih wajib menolak disinformasi, menuntut transparansi, dan menegakkan akuntabilitas publik. Karena jika kebenaran diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah tirani yang berbicara atas nama rakyat, namun bekerja untuk segelintir elite.
Penutup: Kejujuran Sebagai Revolusi
Ketika kebohongan menjadi norma, maka kejujuran adalah bentuk perlawanan tertinggi. Revolusi sejati tidak selalu lahir dari amarah massa, tetapi dari kesadaran individu yang menolak tunduk pada kebohongan kolektif. Di masa penipuan universal ini, keberanian untuk menyuarakan kebenaran, sekecil apa pun, adalah langkah pertama menuju pembebasan.
Kita tidak butuh banyak suara, kita butuh suara yang benar. Dan barangkali, dalam dunia yang penuh dusta ini, satu kalimat jujur sudah cukup untuk mengguncang kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan.
Penulis: Redaksi Penasilet.com
Editor : Tamrin
#Editor
#Sorot
#Media














