Konflik Agraria: Petani Terusir, Korporasi Merajalela, Sengketa Agraria atau Perampokan Legal?

Foto: Ilustrasi
Oleh: Tim Redaksi

JAKARTA,Penasilet.comSenin, (6/10/2025) – Sengketa agraria antara masyarakat dan korporasi di Indonesia bukanlah fenomena baru, tetapi persoalan klasik yang terus berulang tanpa solusi tuntas. Ironisnya, konflik ini justru terjadi di negara agraris yang memiliki konstitusi menjamin keadilan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, penguasaan tanah cenderung berpihak kepada modal besar.

Akar Masalah:

1. Ketimpangan Penguasaan Lahan
Sebagian besar tanah produktif dikuasai oleh korporasi besar, baik melalui skema HGU (Hak Guna Usaha) maupun konsesi lainnya. Sementara masyarakat lokal, termasuk petani, hanya mengelola lahan sempit atau bahkan tidak memiliki legalitas atas tanah yang mereka tempati sejak lama.

2. Legalitas Versus Sejarah Penguasaan
Banyak masyarakat adat atau lokal yang menempati lahan secara turun-temurun namun tidak memiliki sertifikat atau dokumen legal. Di sisi lain, perusahaan dengan kekuatan modal dan akses politik mudah mendapatkan izin atas lahan yang sama, hingga akhirnya memicu konflik.

3. Lemahnya Penegakan Hukum dan Keberpihakan Aparat
Aparat penegak hukum seringkali terlihat berpihak pada korporasi. Ketika konflik terjadi, masyarakat lebih sering diposisikan sebagai pelanggar atau perusuh, bukan sebagai korban dari ketimpangan struktural.

4. Ketiadaan Reforma Agraria yang Nyata
Program reforma agraria yang dijanjikan pemerintah tak kunjung menunjukkan progres signifikan. Alih-alih redistribusi lahan, justru muncul kebijakan yang memperluas izin konsesi untuk investasi skala besar.

5. Minimnya Partisipasi Masyarakat
Dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan, masyarakat seringkali tidak dilibatkan. Konsultasi publik hanya formalitas, sementara substansi kebutuhan dan hak warga diabaikan.

Solusi Harus Menyentuh Akar
Penyelesaian konflik agraria tidak bisa sebatas pendekatan hukum semata. Diperlukan political will yang kuat untuk mereformasi sistem agraria nasional, memastikan legalitas tanah masyarakat adat dan lokal, serta mencabut izin-izin korporasi yang terbukti merampas hak rakyat.

Kesimpulan
Sengketa agraria adalah cermin ketimpangan struktural yang berakar pada pengabaian hak-hak rakyat atas tanah. Selama negara abai dan aparat bersikap transaksional, konflik ini akan terus membara dan menjadi bom waktu. Sebab di tanah yang subur ini, ketidakadilan justru tumbuh paling subur.

Penulis: Tim Redaksi
Editor : Tamrin

#Editorial
#Sorot
#Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!