Foto: Ilustrasi Sertipikat
SEKAYU, Penasilet.com – Dalam beberapa tahun belakangan ini Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah gencar melaksanakan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari desa ke desa di Indonesia. Biaya program PTSL didanai oleh Kementerian ATR/BPN. Ini dilakukan dalam hal pengukuran, pemetaan, ajudikasi atau riwayat tanah, serta terakhir diberikan sertifikat.
Akan tetapi, ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan pemohon diluar PTSL seperti menyiapkan patok tanah, surat-surat, dan materai.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) tentang Pembiayaan Persiapan PTSL. SKB tersebut bernomor 25/SKB/V/2017, SKB Nomor 590-3167A Tahun 2017, serta Nomor 34 Tahun 2017.
Lantas, berapa biaya urus pembiayaan sertifikat PTSL berdasarkan SKB ketiga menteri tersebut?
Pembiayaan tersebut terbagi atas lima kategori berdasarkan masing-masing wilayah seperti berikut ini:
1.Kategori I (Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur) sebesar Rp 450.000.
2.Kategori II (Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat) senilai Rp 350.000.
3.Kategori III (Provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Timur) sebesar Rp 250.000.
4.Kategori IV: (Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Selatan) senilai Rp 200.000.
5.Kategori V: (Provinsi Jawa dan Bali) sebesar Rp 150.000.
Foto: Ilustrasi Sertipikat PTSL
Bagaimana mencegah Maladministrasi dalam penyelenggaraan program PTSL
Negara harus hadir dan tidak boleh absen, karena itu merupakan komitmen dan kewajiban pemerintah dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang menjadi sorotan yakni pelaksanaan program proyek operasi nasional agraria (PRONA) atau dengan sebutan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
Berbagai permasalahan yang muncul di lapangan. Tidak hanya persoalan tidak kunjung selesai sertifikat tanah bagi pemohon, namun justru disibukkan dengan proses hukum pidana karena terjadinya pungutan liar yang dilakukan oleh kepala desa/Lurah dan perangkat.
Tidak dapat diabaikan begitu saja atas peristiwa tindak pidana tersebut, sehingga diperlukan komitmen bersama antara masyarakat dan penegak hukum serta penyelenggara pelayanan publik dalam mencegah dan memberantas pungli dalam pelaksaan program PTSL.
Proses hukum pidana tidak dapat dihentikan begitu saja, apabila sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP hingga hakim memutus di pengadilan.
Meskipun para tersangka beralasan bahwa tidak ada paksaan, sudah sesuai aturan yang berlaku, biaya yang dibebankan kepada pemohon sertifikat nominalnya tidak besar, bahkan biaya yang dibebankan sudah dikembalikan kepada pemohon. Alasan para tersangka ini, tidak menjadikan kasus tersebut dihentikan prosesnya di kepolisian ataupun di kejaksaan. Seharusnya kasus itu biar hakim yang menilai dan memutus di Pengadilan untuk menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tersebut melakukan tindak pidana atau tidak.
Aturan terkait pelaksanaan program PTSL, seyogianya sudah jelas dan telah memiliki Rujukan sebagai acuan resmi yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang meliputi Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagaimana ditulis diatas.
Dari informasi yang beredar publik di beberapa daerah telah melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Aparat Penegak Hukum dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terkait penanganan pengaduan masyarakat atas indikasi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Maksud penandatanganan perjanjian kerja sama ini, sebagai tindak lanjut amanat UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memberikan kewenangan kepada inspektorat dengan fungsi APIP untuk memeriksa terjadi penyalahgunaan wewenang atau tidak.
Apabila terdapat aduan masyarakat tentang dugaan korupsi oleh pemerintahan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh APIP.
Demikian pula, jika seorang Kepala Desa/Lurah melakukan perbuatan pidana dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka terlebih dahulu diperiksa oleh Inspektorat (APIP) sebelum ditangani oleh Aparat Penegak Hukum.
Dalam mewujudkan pelayanan publik dan mencegah maladministrasi pada pelaksaan PTSL dengan beberapa langkah
Pertama, Perlu didorong kepada Kantor Pertanahan di Kabupaten/kota dan Pemda setempat agar komitmen dalam menjalankan SKB 3 (tiga) menteri terkait pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis.
Kedua Kantor Pertanahan dan Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pendampingan dalam memberikan pemahaman peraturan perundang-undangan terkait PTSL di Desa/Kelurahan.
Ketiga, kepala Desa/Lurah untuk melakukan berkonsultasi dengan Bagian Hukum di Pemda ataupun kepada Kejaksaan Negeri setempat.
Dengan menempuh langkah langkah yang di uraikan diatas dapat meminimalisir terjadinya maladministrasi dan dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana dalam penyelenggaraan PTSL.”(tmr)”